Breaking News
Loading...
Selasa, 10 Juni 2014

Nasehat Asatidz Lombok Terkait Situasi Politik dan Pilpres 2014 di Indonesia

02.13


Tidak bisa dipungkiri, bahwa dialog dan perdebatan dalam masalah Politik dan Pemilu ini, ditambah lagi dengan isu-isu dan berita-berita media yang sarat akan kepentingan kubu politik tertentu, menjadikan topik Pemilu sangat rentan menimbulkan pertikaian dan perpecahan di tubuh kaum muslimin Indonesia.

Sementara perpecahan—di satu sisi—, serta tercerai-berainya persatuan Islam dan kaum muslimin, tidak diragukan lagi merupakan musibah yang sangat besar. Lebih besar lagi, manakala perpecahan itu menimpa ahlussunnah. Dampaknya, dakwah akan melemah, jika tidak dikatakan mandeg. Akibatnya, pembenahan dan pembangunan ummat akan melambat, jika tidak dikatakan jalan ditempat, atau bahkan mundur sampai ke titik nadir.

Ada banyak ayat yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersatu di atas al-haq, demikian halnya dengan ayat-ayat yang melarang keras perpecahan. Di antaranya adalah:


وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” [Ali Imran: 105]

 وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [al-Anfâl: 46]
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء…

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian…” [al-Mâ-idah: 46]

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka bisa dipahami bahwa menjauhkan ummat dari sebab-sebab perpecahan dari al-haq, adalah salah satu maksud syari’at yang terbesar. Sebagaimana persatuan di atas al-haq, serta mengerahkan segenap daya upaya untuk mewujudkannya, merupakan salah satu tujuan syari’at Islam yang paling agung.

Untuk itu, dengan mengharap keridhaan Allâh kepada segenap kaum muslimin dan kepada Indonesia tercinta secara khusus, maka kami menyampaikan poin-poin nasehat berikut ini:

Pertama: Senantiasa bertakwa pada Allâh dan bersabar dalam ketakwaan di setiap waktu dan keadaan.

Propaganda media, telah menggambarkan masa depan yang suram bagi Islam di Indonesia. Isu-isu yang tidak jelas, telah menjadikan kaum muslimin dilingkupi rasa takut yang berlebihan, menjadikan sebagian mereka bertindak di luar koridor, anehnya, itu semua mengatasnamakan kondisi darurat. Padahal dengan takwa, berbagai macam malapetaka, ketakutan dan kesedihan akan lenyap. Karena perlindungan Allâh dan akhir yang baik akan selalu bersama orang-orang bertakwa:

وَنَجَّيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Dan Kami selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa.” [QS. Fushilat: 18]

Dengan takwa yang dibingkai dengan kesabaran, makar musuh-musuh Islam dan tipu daya para pendengki kaum muslimin, tak akan mendatangkan mudarat. Karena Allâh berfirman:

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka (musuh-musuh Islam) sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” [Ali Imran: 120]

Renungkanlah firman Allâh, ketika menggambarkan situasi dan ancaman nyata yang amat mencekam terhadap Bani Israil, saat:
“Fir’aun berkata: ‘Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka’”. [QS. Al-A’râf: 127]

Kemudian apa kata Musa ‘alahissalâm di saat-saat realita genting yang menakutkan tersebut ada di depan mata?
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa“. [QS. Al-A’râf: 128]

Sungguh, kondisi kita saat ini (Pemilu 2014 di Indonesia) sangatlah jauh dari realita teror yang memberikan ancaman nyata terhadap Bani Israil saat itu. Lantas, atas dasar apa kita mengatakan bahwa kondisi kaum muslimin Indonesia saat ini berada dalam status gawat darurat? Mengapa kita harus disibukkan dengan isu-isu politik yang sarat akan intrik dan kepentingan golongan, sehingga kita harus melabrak rambu-rambu Allâh dan Rasul-Nya?

Dengan takwa, yaitu iman dan amal shalih, kepemimpinan Islam akan diraih, agama ini akan menjadi kokoh, ketakutan akan berganti dengan rasa aman. Ini sudah menjadi janji Allâh dalam firman-Nya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (Syaratnya) Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku…” [QS. An-Nûr: 55]

Pada momen-momen perpolitikan yang semakin memanas saat ini, fitnah—khususnya perpecahan dan pertikaian—tengah berkecamuk dan ikut memanas. Di saat-saat seperti inilah, kita dituntut untuk semakin meningkatkan ketakwaan kita pada Allâh. Bukan justru terjun ke medan fitnah (sekalipun dengan alasan ingin memadamkan api fitnah) atau ikut andil menjadi agen penebar fitnah di tengah ummat. Perbuatan yang demikian ini, adalah bukti ketidaksabaran di atas takwa.
Saat fitnah ini kian memanas, mari mendinginkannya dengan ibadah kepada Allâh. Mari mengajak ummat untuk lebih mengokohkan ibadah mereka. Renungkanlah sabda Rasûl shallallâhu ‘alaihi wasallam:

العِبَادَةُ فِي الْهَرَجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

“Ibadah di saat huru-hara fitnah, nilainya seperti hijrah menuju aku.” [Shahih Muslim]
Al-Imâm an-Nawawi rahimahullâh mengatakan:

المراد بالهرج هنا الفتنة واختلاط أمور الناس، وسبب كثرة فضل العبادة فيه أن الناس يغفلون عنها ويشتغلون عنها، ولا يتفرغ لها إلا أفراد
“Yang dimaksud al-haroj di sini adalah fitnah, kekacauan dan kesimpangsiuran yang terjadi di masyarakat. Adapun besarnya fadhilah ibadah pada saat-saat seperti itu, disebabkan manusia sudah pada lalai dari ibadah, mereka sibuk dengan fitnah hingga melupakan ibadah, mereka tidak menyibukkan diri dengan ibadah, kecuali segelintir orang saja.” [Syarh Shahïh Muslim, an-Nawawi]

Kedua: Dakwah tauhid & sunnah adalah sebesar-besar bentuk ikhtiar, maka jangan sampai politik menyibukkan kita darinya

Mengajak pada Allâh, merupakan bentuk ikhtiar terbesar yang bisa kita lakukan demi masa depan Islam di Indonesia yang lebih baik. Janganlah seorang muslim menuduh saudaranya yang sibuk dalam dakwah tauhid dan sunnah, bahwa dia tidak peduli dengan kondisi ummat di negeri ini. Justru mencurahkan seluruh energi dan pikiran untuk dakwah tauhid dan sunnah, merupakan bentuk kepedulian terbesar atas kondisi ummat. Karena dakwah tauhid dan sunnah akan menjadikan ummat bergerak melakukan perubahan pada diri dan keluarga mereka masing-masing, dan inilah kunci perubahan masyarakat yang hakiki.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” [QS. Ar-Ra’du: 11]

Sejarah perjuangan dakwah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wasallam seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita. Selama 13 tahun beliau berdakwah dan membangun ummat di bawah terror dan intimidasi kafir Quraisy, tidak sedikit pun beliau tertarik dengan perpolitikan (non-syar’i) di Dârun Nadwah. Padahal, beliau punya peluang dan posisi tawar secara politik, manakala tokoh-tokoh kafir Quraisy menawarkan kedudukan sebagai pemimpin. Namun apa sikap yang beliau tempuh? Beliau memilih konsisten di jalan dakwah dan membenahi ummat dari dasar.

Ketiga: Berdo’a pada Allâh untuk pemimpin Indonesia yang terbaik.

Baik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, semuanya adalah muslim, walhamdulillâh. Seorang ulama bisa saja berijtihad memilih mana yang terbaik dari kedua pasangan tersebut berdasarkan analisa informasi dan data-data yang dimilikinya. Namun, seorang alim sekaliber apapun, tidak boleh memastikan “ini yang terbaik” bagi masa depan Islam di Indonesia. Jika para alim ulama dan cendikiawan besar sekalipun tidak boleh memastikan hal ini, apalagi orang-orang awam di antara kita..?! Karena betapa banyak realita dan fakta yang menunjukkan bahwa pilihan kita—yang kita anggap lebih masalahat—terkadang menjadi bumerang dan mudarat di kemudian hari.

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]

Untuk itu, kaum muslimin tidak boleh melupakan do’a ke hadirat Allâh, agar menjadikan untuk Islam dan kaum muslimin di negeri ini pemimpin yang terbaik. Karena Allâh, Dialah al-‘Alïm al-Khobïr, Dzat yang Mahamengetahui setiap detail perkara yang akan terjadi di masa depan, yang Mahamengilmui tentang segenap maslahat dan mudarat—dari yang terkecil sampai yang terbesar—bagi Muslim Indonesia di masa depan. Dialah al-Lathïf al-Hakïm, Dzat yang Mahalembut dan Mahabijak dalam menetapkan takdir dan ketentuan yang terbaik bagi Muslim Indonesia.

Dengan do’a, sangat mungkin Allâh akan merubah keadaan seorang pemimpin dari buruk menjadi baik dan justru mendatangkan maslahat yang besar di kemudian hari. Sebagaimana tanpa do’a, sangat mungkin Allâh akan merubah keadaan seorang pemimpin yang kita idolakan dan harapkan, justru menjadi lebih buruk serta mendatangkan mudarat.

Selanjutnya di antara do’a yang bisa kita amalkan untuk saat ini adalah:

اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا

“Ya Allâh, dikarenakan dosa-dosa kami, janganlah Engkau kuasakan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu atas kami dan tidak pula mereka welas asih kepada kami.”
Atau do’a Abu Hurairah radhiallâhu’anhu berikut ini:

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُبِكَ مِنْ إِمَارَةِ الصِّبْيَانِ وَالسُّفَهَاء

“Ya Allâh, sungguh kami berlindung kepada-Mu dari pemimpin yang kekanak-kanakan dan dari pemimpin yang bodoh.” [HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Sa’ïd bin Sam’ân]

Keempat: Jangan disibukkan dengan berita-berita media terkait perhelatan politik terkini dari ilmu dan dakwah.

Jangan sampai koran lebih menarik untuk ditelaah ketimbang al Qur’an. Jangan sampai info-info yang berseliweran di Facebook, Twiter dan jejaring sosial lainnya menyibukkan kita dari kewajiban-kewajiban asasi kita selaku hamba Allah.

Sungguh aneh, jika seorang “Salafy” yang terdidik kental di atas prinsip tastabbut dan tabayyun, kritis dan selektif dalam menerima suatu hadits, tiba-tiba saja jadi seorang reporter dadakan yang menyebarkan berita yang dipungutnya dari berbagai tempat tanpa perduli akan tingkat kebenaran berita tersebut. Yang penting, berita tersebut mendukung capres idolanya, dan mendiskreditkan capres lawan.

Hendaknya kita ingat selalu sabda Rasulullah:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ. صحيح الجامع: ٤٤٨٢
قال المناوي رحمه الله تعالى: “أي إذا لم يتثبت لأنه يسمع عادة الصدق والكذب فإذا حدّث بكل ما سمع لا محالة يكذب…”

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menyampaikan semua berita yang ia dengar (tanpa tastabbut).” [Shahihul Jami': 4482]

Berkata al-Munâwi rahimahullâh: “yang dimaksud qïla wa qôla (dalam hadits tersebut) adalah; manakala berita yang dinukil belum ia pastikan kebenarannya, karena terkadang dia mendengar berita yang benar dan terkadang berita yang dusta. Jika dia menyampaikan semua apa yang ia dengar, maka pasti dia akan jatuh ke dalam dusta…”

وَكَانَ يَنْهَى عَنْ قِيْلَ وَقَالَ

“Nabi melarang desas-desus (sibuk menukil dan menyebarkan kabar burung).” [Shahihul Bukhari: 6108]

Kelima: Yakin dengan janji-janji Allâh dan sabar, akan melahirkan para pemimpin yang syar’i.

Tidak sedikit di antara aktifis dakwah yang tergesa-gesa, tidak sabar dalam dakwah. Tanpa sadar, mereka terfitnah dengan jumlah pengikut (followers) yang banyak. Begitu cepat mereka termakan isu media dan desas-desus yang disampaikan oleh para pengikutnya. Akhirnya, bertindaklah mereka dengan tindakan-tindakan yang menyebabkan mereka keluar dari arah perjuangan dakwah semula. Ini tentu tidak terjadi begitu saja, namun terjadi perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, tanpa di sadari.
Ini semua adalah bukti kurangnya rasa yakin akan janji-janji Allâh dalam al-Qur’ân dan ketidaksabaran kita dalam menghadapi propaganda syaithon, yang selalu berusaha sekuat tenaga siang dan malam untuk mengendorkan kita dari dakwah. Padahal, yakin dan sabar adalah 2 modal terbesar untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang syar’i, sebagaimana firman Allâh:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [QS. As-Sajdah: 24]

Keenam: Jangan membeberkan aib seorang muslim apalagi jika dia adalah seorang pemimpin.

Dari lahiriyah yang kita ketahui, semua Capres-Cawapres Pemilu kali ini adalah muslim. Kita tidak dibenarkan untuk menelusuri apa yang tersembunyi dalam bathin seorang muslim, apakah dia mukmin atau munafik. Atas dasar ini, haram bagi seorang muslim untuk mencela saudaranya sesama muslim, dan inilah yang menjadi hukum asal.

Jika dipandang ada maslahat yang lebih besar ketimbang mudarat yang mungkin terjadi akibat membeberkan aib seorang muslim, maka ini boleh dilakukan, asalkan tetap pada koridor dan batasan-batasan yang telah dijelaskan oleh para ulama (seperti; tidak melampaui batas, sampai mengarah kepada pengkafiran, ini jelas keliru).

Namun jika seseorang tidak memiliki ilmu dan kemampuan dalam menimbang maslahat-mafsadat ketika mengghibah, maka kembalikanlah ke hukum asal, Insya Allâh ini lebih selamat bagi kita (penuntut ilmu dan orang awam). Tidak sepantasnya kita ikut sibuk dalam perkara-perkara yang hanya khusus menjadi haknya para ulama rabbani.

Jika muslim yang dighibahi tersebut kebetulan seorang pemimpin, maka keharaman menyebarkan aibnya lebih besar lagi. Jika tidak ada ulama rabbani yang berbicara menyebarkan aib seorang pemimpin, maka para penuntut ilmu dan orang-orang awam lebih utama untuk diam. Dan kita tidak dibebani oleh Allâh atas apa-apa yang tidak sanggup kita pikul. Dan sikap diam, sekali lagi, bukan berarti ketidakpedulian terhadap kondisi ummat.

Ketujuh: Taati pemimpin muslim yang telah berkuasa.

Capres-Cawapres manapun yang akan terpilih nantinya setelah Pemilu 2014 ini, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat pada perkara-perkara yang ma’ruf.
Jika pada suatu daerah atau propinsi tertentu kaum muslimin dipimpin oleh orang-orang kafir, maka orang pertama yang harus kita persalahkan adalah diri kita, kaum muslimin sendiri. Sebab, mustahil Allâh akan menguasakan orang kafir di atas kaum muslimin, jika bukan karena dosa-dosa dan kesalahan yang telah menggerus keimanan kita. Allâh telah berjanji kepada orang-orang yang sejati dalam keimanannya:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Allâh sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” [QS. An-Nisaa: 141]

Pemimpin yang zhalim, tidak lahir kecuali dari rakyat yang zhalim. Karena Allâh berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah, Kami jadikan sebagian orang zhalim berkuasa atas sebagian mereka (yang juga zhalim) disebabkan apa-apa yang mereka usahakan (berupa maksiat dan kezhaliman).” [QS. Al-An’âm: 129]
Dalam tafsirnya, Al-A’masy rahimahullâh mengomentari ayat tersebut:

إذا فسد الناس أمّر عليهم شرارهم

“Jika manusia telah rusak, maka akan dijadikan untuk mereka pemimpin yang paling jahat di antara mereka.” [Dinukil Tafsïr ath-Thabari]

Jika sampai suatu daerah dipimpin oleh orang kafir, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh, dengan sebenar-benar taubat. Kemudian kembali merapatkan barisan dalam ilmu dan dakwah ke jalan Allâh, dengan penuh keikhlasan dan mengharap wajah Allâh semata.
SEBAGAI PENUTUP, kami berdo’a dan bermunajat kepada Allâh, Dzat yang di tangan-Nya seluruh kerajaan dan kekuasaan, agar tidak menjadikan pemimpin di negeri ini dari kalangan orang-orang kafir, munafik, atau antek-antek kafir dan munafik, atau boneka orang-orang kafir dan munafik beserta kaki tangan mereka. Semoga Allâh menjadikan para pemimpin Indonesia ke depan, adalah mereka yang dekat kepada Islam, yang dekat dan mencintai para ulama ahlussunnah, serta menyayangi kaum muslimin.
***
Disusun bersama oleh Forum Asatidz Lombok
Duduk dalam Forum tersebut para tetua Asatidz dan Tokoh-Tokoh Dakwah Salafiyyah Lombok, di antaranya:
Ust. Mukti Ali Abdulkarim, TGH. Mahsun, Abu Hakam Abdurrahman Hizam, Ust. Mizan Qudsiah, Ust. Fakhurddin Abdurrahman, Ust. Sofyan Bafin Zen, Ust. Zahid Zuhendra, Ust. Masyhuri Badran, Ust. Abdullah Husni, dan para asatidz lainnya…

***
Artikel  ini kami copas dari....

0 komentar:

Posting Komentar

kami menerima keritik dan saran yang membangun dari para pembaca...

 
Toggle Footer