Pegunungan Tengger di kaki Gunung Bromo memang tak jauh dari
namanya…bertengger di ketinggian sekian ribu meter di atas permukaan
laut. Tidak berlebihan kiranya jika disebut sebagai negeri di atas awan.
Desa Argosari dengan segala keindahan alamnya…hamparan tanaman
pertanian yang menghijau dilereng-lereng pegunungan, jalan setapak
beraspal dengan keelokan jurang di kanan-kirinya-
mengiringi perjalanan wisata dakwah enam dai muda dari STDI Imam Syafii Jember yang mengasah kemampuan dakwahnya di pegunungan Tengger.
Sabtu 20 Januari tepat pukul 8.30 robongan berangkat dari STDI dengan segudang perbekalan dan hadiah untuk para dai dan masyarakat Tengger. Ucapan syukur Alhamdulillah tak terbendung dari dada, setelah sebelumnya rasa pesimis sempat menggerogoti hati kami karena persiapan yang sangat singkat sehingga tanda tanya besar selalu menghantui, mampukah anggaran 3 juta dicapai untuk menunjang kesuksesan agenda ini? Proposal ke beberapa instansi seperti Telkom hanya berhenti di pak satpam, ke Bank Muamalat tidak ada jawaban, kepada siapa lagi kami akan mengajukan proposal kalau bukan kepada yang Maha Kaya al-Razzaq al-Mannaan ?
Alhamdulillah berkat taufik dan pertolongan-Nya, tangan-tangan tersembunyi mulai menjulurkan infak dan shadaqahnya. Anggaran 3 juta yang semula direncanakan pun terlampaui sehingga kami tidak khawatir akan kekurangan bekal dan hadiah untuk masyarakat Tengger.
Pukul 10.30 sampailah kami ke Yayasan al-Hikmah Hidayatullah Lumajang dan disambut oleh dai senior Tengger Ust.Waskito. Untuk beberapa saat rombongan berbincang dengan beliau untuk menggali informasi seputar adat dan kebiasaan masyarakat Tengger. Beliau menginformasikan bahwa masyarakat Tengger sangat lugu dan baik hati yang penting kita bisa membawa diri.
Setidaknya ada tiga lokasi utama yang akan menjadi objek dakwah. Bangkalan, daerah yang pada awalnya hanya terdapat 5 orang muslim tetapi Alhamdulillah sekarang penduduk muslim disana sudah mencapai 90%, Pusung Dour dan Puncak. Jumlah kaum muslimin di dua wilayah terakhir belum sebanyak Bangkalan. Dari beliau juga kami mendapatkan informasi jalan yang akan dilalui, jalan kecil yang berkelok, turun naik, dengan jurang berkedalaman ratusan meter dikanan-kirinya.
Dari keterangan beliau sempat terbersit keraguan, mampukah mobil APV yang kami kendarai melalui jalan yang penuh rintangan tersebut? Apalagi dengan kemampuan sopir yang belum mumpuni. Meski sempat ragu namun kami bulatkan tekad untuk mengantarkan 6 pendekar muda tersebut ke tempat terakhir yang dapat dijangkau mobil.
Oleh Ust. Waskito kami diarahkan untuk menemui dai senior yang lain yaitu Ust.Didin dari DDI, dari beliau kami mendapatkan informasi tambahan tentang adat kebiasaan masyarakat Tengger dan bagaimana beliau dahulu mengawali dakwah di sana sampai menjadi mayoritas muslim. Pada awal dakwahnya beliau hanya mengintensifkan silaturahmi ke masyarakat dengan mengunjungi mereka di lahan pertanian mereka dengan membwa sebungkus permen dan membagi-bagikannya ketika istirahat. Berawal dari situlah terjalin keakraban dan sambung rasa yang harmonis.
Dari keakraban di pematang sawah/tegalan itulah penyebaran Islam di Tengger dimulai. Di sela-sela istirahat dan kunjungan ke warga mulai terjadilah pembicaraan yang ringan tapi tepat sasaran sehingga satu-persatu masyarakat Hindu Tengger mulai memeluk Islam. Meski masyarakat masih abangan tapi prestasi dan kesabaran para dai di sana patut disyukuri dan diacungi jempol, apalagi hanya dalam kurun waktu sekitar 5 tahun.
Di sinilah terbuka pintu kesadaran bahwa ilmu dakwah yang sebenarnya baru akan kita pelajari ketika terjun di medan dakwah. Teori ilmu tanpa praktek nyata pengendalian diri dan emosi untuk selalu sabar dan rendah hati kepada masyarakat, berkumpul dan menyelami kehidupan mereka, duduk bersama merasakan tangis dan tawa bersama….Sikap enggan melakukan hal itu hanya akan menjadikan Islam agama di atas kertas. Kalau dahulu para ulama mencela orang-orang yang menuntut ilmu dari suhuf dan lembaran kertas, bagaimana kiranya orang-orang yang menjdikan agama sekedar agama di atas kertas, tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan keseharian kita? Na’udzubillah min khizyi ad-Dunya wa al-Aakhirah.
Kembali ke topik semula….dari tempat Ust. Waskito dan Ust. Didin ada satu dai muda yang selalu menemani tapi belum sempat kami ceritakan yaitu Ust. Yunus. Ustadz muda yang satu ini baru berusia 22 tahun tapi begitu dewasa dan gesit bertindak. Rencananya beliau baru akan menikah pada usia 25 tahun namun karena ada gadis Hindu yang jatuh hati kepadanya dan mau bersyahadat, keluarga sang gadis juga akan bersyahadat semuanya, akhirnya dia harus mempercepat agenda pernikahannya pada bulan-bulan ini.
Dari rumah Ust. Didin kami bertolak menuju Bangkalan. Jalan berkelok dengan pemandangan indah elok nan mempesona dengan jurang di sisi kanan dan kirinya menjadi teman perjalanan kami.
Setelah 1,5 jam perjalanan sampailah kami di gerbang desa Argosari, di sini kami mampir sejenak ke warung terakhir untuk sekedar mengisi perut sebelum masuk menuju desa Bagalan karena di sana tidak ada lagi warung makan. Jalan berkelok nan curam kembali kami lalui, sebelum tanjakan terakhir ust.Didin mengingatkan bahwa tanjakan terakhir inilah yang paling tajam, meski timbul kekhawatiran namun tekad sudah bulat…hasbunallahu wa ni`mal wakiil…dengan gigi satu kami berusaha menaklukkan tanjakan ini namun….karena kekurangmahiran sopir mesin tidak kuat dan berhenti ditengah tanjakan dengan sisi kanan dan belakang kami jurang berkedalaman ratusan meter.
Sekali lagi kami mencoba mengidupkan mesin, namun karena agak panik pengendalian rem dan gas kurang sempurna sehingga tetap saja tidak mau beranjak. Langkah terakhir teman-teman turun dari mobil dan akhirnya kendaran dapat naik ke ujung jalan, di sinilah tempat terakhir yang dapat dicapai dengan mobil ini, masih ada 1 kilometer lagi menuju Masjid Bagalan yang akan ditempuh dengan jalan kaki/motor. Atas saran ust. Didin sebaiknya diantarkan sampai sini saja, kalau dipaksakan khawatir justru tidak sampai tujuan. Selanjutnya 6 dai muda STDI melanjutkan perjalanannya didampingi Ust. Didin dan Ust.Yunus dengan berjalan kaki/motor menuju Masjid Bagalan.
Alhamdulillah, hanya dengan pertolongan-Nyalah kami dapat melalui perjalanan ini….
Kisah ini ditulis oleh: Ustadz kami tercinta Noor ikhsan S, Lc -hafidzahullah- yang sekaligus beliaulah yang mengantarkan enam mahasiswa (dai) yang dimaksudkan dalam cerita ini.
dan saya termasuk dari enam orang yang diantarkan Beliau kala itu untuk mengasah kemampuan dakwah kami di sana (tengger, desa Argosari).
___________________
Oleh: Haeruman Santri
mengiringi perjalanan wisata dakwah enam dai muda dari STDI Imam Syafii Jember yang mengasah kemampuan dakwahnya di pegunungan Tengger.
Sabtu 20 Januari tepat pukul 8.30 robongan berangkat dari STDI dengan segudang perbekalan dan hadiah untuk para dai dan masyarakat Tengger. Ucapan syukur Alhamdulillah tak terbendung dari dada, setelah sebelumnya rasa pesimis sempat menggerogoti hati kami karena persiapan yang sangat singkat sehingga tanda tanya besar selalu menghantui, mampukah anggaran 3 juta dicapai untuk menunjang kesuksesan agenda ini? Proposal ke beberapa instansi seperti Telkom hanya berhenti di pak satpam, ke Bank Muamalat tidak ada jawaban, kepada siapa lagi kami akan mengajukan proposal kalau bukan kepada yang Maha Kaya al-Razzaq al-Mannaan ?
Alhamdulillah berkat taufik dan pertolongan-Nya, tangan-tangan tersembunyi mulai menjulurkan infak dan shadaqahnya. Anggaran 3 juta yang semula direncanakan pun terlampaui sehingga kami tidak khawatir akan kekurangan bekal dan hadiah untuk masyarakat Tengger.
Pukul 10.30 sampailah kami ke Yayasan al-Hikmah Hidayatullah Lumajang dan disambut oleh dai senior Tengger Ust.Waskito. Untuk beberapa saat rombongan berbincang dengan beliau untuk menggali informasi seputar adat dan kebiasaan masyarakat Tengger. Beliau menginformasikan bahwa masyarakat Tengger sangat lugu dan baik hati yang penting kita bisa membawa diri.
Setidaknya ada tiga lokasi utama yang akan menjadi objek dakwah. Bangkalan, daerah yang pada awalnya hanya terdapat 5 orang muslim tetapi Alhamdulillah sekarang penduduk muslim disana sudah mencapai 90%, Pusung Dour dan Puncak. Jumlah kaum muslimin di dua wilayah terakhir belum sebanyak Bangkalan. Dari beliau juga kami mendapatkan informasi jalan yang akan dilalui, jalan kecil yang berkelok, turun naik, dengan jurang berkedalaman ratusan meter dikanan-kirinya.
Dari keterangan beliau sempat terbersit keraguan, mampukah mobil APV yang kami kendarai melalui jalan yang penuh rintangan tersebut? Apalagi dengan kemampuan sopir yang belum mumpuni. Meski sempat ragu namun kami bulatkan tekad untuk mengantarkan 6 pendekar muda tersebut ke tempat terakhir yang dapat dijangkau mobil.
Oleh Ust. Waskito kami diarahkan untuk menemui dai senior yang lain yaitu Ust.Didin dari DDI, dari beliau kami mendapatkan informasi tambahan tentang adat kebiasaan masyarakat Tengger dan bagaimana beliau dahulu mengawali dakwah di sana sampai menjadi mayoritas muslim. Pada awal dakwahnya beliau hanya mengintensifkan silaturahmi ke masyarakat dengan mengunjungi mereka di lahan pertanian mereka dengan membwa sebungkus permen dan membagi-bagikannya ketika istirahat. Berawal dari situlah terjalin keakraban dan sambung rasa yang harmonis.
Dari keakraban di pematang sawah/tegalan itulah penyebaran Islam di Tengger dimulai. Di sela-sela istirahat dan kunjungan ke warga mulai terjadilah pembicaraan yang ringan tapi tepat sasaran sehingga satu-persatu masyarakat Hindu Tengger mulai memeluk Islam. Meski masyarakat masih abangan tapi prestasi dan kesabaran para dai di sana patut disyukuri dan diacungi jempol, apalagi hanya dalam kurun waktu sekitar 5 tahun.
Di sinilah terbuka pintu kesadaran bahwa ilmu dakwah yang sebenarnya baru akan kita pelajari ketika terjun di medan dakwah. Teori ilmu tanpa praktek nyata pengendalian diri dan emosi untuk selalu sabar dan rendah hati kepada masyarakat, berkumpul dan menyelami kehidupan mereka, duduk bersama merasakan tangis dan tawa bersama….Sikap enggan melakukan hal itu hanya akan menjadikan Islam agama di atas kertas. Kalau dahulu para ulama mencela orang-orang yang menuntut ilmu dari suhuf dan lembaran kertas, bagaimana kiranya orang-orang yang menjdikan agama sekedar agama di atas kertas, tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan keseharian kita? Na’udzubillah min khizyi ad-Dunya wa al-Aakhirah.
Kembali ke topik semula….dari tempat Ust. Waskito dan Ust. Didin ada satu dai muda yang selalu menemani tapi belum sempat kami ceritakan yaitu Ust. Yunus. Ustadz muda yang satu ini baru berusia 22 tahun tapi begitu dewasa dan gesit bertindak. Rencananya beliau baru akan menikah pada usia 25 tahun namun karena ada gadis Hindu yang jatuh hati kepadanya dan mau bersyahadat, keluarga sang gadis juga akan bersyahadat semuanya, akhirnya dia harus mempercepat agenda pernikahannya pada bulan-bulan ini.
Dari rumah Ust. Didin kami bertolak menuju Bangkalan. Jalan berkelok dengan pemandangan indah elok nan mempesona dengan jurang di sisi kanan dan kirinya menjadi teman perjalanan kami.
Setelah 1,5 jam perjalanan sampailah kami di gerbang desa Argosari, di sini kami mampir sejenak ke warung terakhir untuk sekedar mengisi perut sebelum masuk menuju desa Bagalan karena di sana tidak ada lagi warung makan. Jalan berkelok nan curam kembali kami lalui, sebelum tanjakan terakhir ust.Didin mengingatkan bahwa tanjakan terakhir inilah yang paling tajam, meski timbul kekhawatiran namun tekad sudah bulat…hasbunallahu wa ni`mal wakiil…dengan gigi satu kami berusaha menaklukkan tanjakan ini namun….karena kekurangmahiran sopir mesin tidak kuat dan berhenti ditengah tanjakan dengan sisi kanan dan belakang kami jurang berkedalaman ratusan meter.
Sekali lagi kami mencoba mengidupkan mesin, namun karena agak panik pengendalian rem dan gas kurang sempurna sehingga tetap saja tidak mau beranjak. Langkah terakhir teman-teman turun dari mobil dan akhirnya kendaran dapat naik ke ujung jalan, di sinilah tempat terakhir yang dapat dicapai dengan mobil ini, masih ada 1 kilometer lagi menuju Masjid Bagalan yang akan ditempuh dengan jalan kaki/motor. Atas saran ust. Didin sebaiknya diantarkan sampai sini saja, kalau dipaksakan khawatir justru tidak sampai tujuan. Selanjutnya 6 dai muda STDI melanjutkan perjalanannya didampingi Ust. Didin dan Ust.Yunus dengan berjalan kaki/motor menuju Masjid Bagalan.
Alhamdulillah, hanya dengan pertolongan-Nyalah kami dapat melalui perjalanan ini….
Kisah ini ditulis oleh: Ustadz kami tercinta Noor ikhsan S, Lc -hafidzahullah- yang sekaligus beliaulah yang mengantarkan enam mahasiswa (dai) yang dimaksudkan dalam cerita ini.
dan saya termasuk dari enam orang yang diantarkan Beliau kala itu untuk mengasah kemampuan dakwah kami di sana (tengger, desa Argosari).
___________________
Oleh: Haeruman Santri
Wisata Jawa memang sangat menarik, banyak objek wisata yg dapat kita nikmati karena indonesia adalah negeri diatas awan seperti dataran tinggi dieng Wonosobo
BalasHapus